18.12.08

“ From Bullet to Ballot”: Beberapa Catatan pengantar

“Letusan senjata harus dihentikan
sehingga kata-kata dapat di dengar”
*Zapatista *

Dua Metode Perjuangan Politik Modern Untuk Merebut negara dan Pembebasan Nasional

 Melalui metode Revolusi, dimana negara atau sebuah kekusaan (kolonial atau otoriter atau kapitalistis) ditumbangkan oleh gerakan politik atau kepemimpinan partai revolusioner melalui insureksi atau gerakan massa yang militan atau kombinasi dari keduanya contoh; Revolusi Indonesia, Revolusi Iran, Revolusi Cuba. Metode revolusi ini tampaknya mulai ‘ditanggalkan’ dan ditransformasikan kedalam perjuangan politik melalui partai-partai politik dan mekanisme pemilu. Bahkan kaum ‘kiri’ yang menjadi pengikut tradisionil metode ini, kini mulai bertransformasi menggunakan metode elektoral dan menggunakan mekanisme demokratis untuk mendapatkan kekuasaan dan legitimasi, seperti yang terjadi di Amerika latin (Brazil, Venezuela, Bolivia, Argentina, Paraguay, Nicaragua) Revolusi terakhir yang tercatat adalah revolusi Zapatista di negara bagian Chiapas di Mexico pada tahun 1994. Di Nepal gerilyawan maois Partai Komunis Nepal-M-L merebut kekuasaan negara setelah bertransformasi kedalam gerakan politik dengan mengikuti pemilu demokratis dan memenangkannya dengan ‘kotak suara’ bukan dengan AK 47.

 Melalui Metode elektoral, dimana perebutan kekuasaan atas negara atau pemerintahan dilakukan melalui mekanisme pemilihan umum (Pemilu). Pertarungan hegemoni politik diantara berbagai kekuatan politik didalam masyarakat dilakukan melalui partai-partai politik dalam sebuah pemilihan umum yang dilakukan secara reguler dan demokratis. Beberapa gerakan politik bersenjata (political-military atau polmil) diberbagai negeri mulai bertaranformasi kejalan elektoral dan mendapatkan legitimasi dan kemenangana politik yang signifikan untuk membawa perubahan. Di Amerika Latin kita mengenal FMLN, di Nicaragua yang sejak tahun 1990 secara total ‘menghapus’ strategi bersenjata dan secara total memilih perjuangan politik melalui jalan elektoral melalui partai politik yang mengikuti pemilu secara reguler. Dalam Pemilu tahun 2007 FMLN memenangi pemilu dan menguasai pemerintahan dengan memenangi kursi kepresidenan. Di Asia baru-baru ini Partai Komunis Nepal (M-L) yang selama puluhan tahun hanya menggunakan strategi bersenjata sejak tahun 2008 beralih keperjuangan politik elektoral dan berhasil memenangkan. Pemilu dan menguasai pemerintahan sebagai Perdana Mentri. Pada tahun 2003 Gerilyawan Zapatista (EZLN) di Mexico mulai beralih keperjuangan “politik” dengan mendirikan Zapatista Front of National Liberation. Perjuangan ‘lokal’ berbasis kaum indian dan ‘strategi bersenjata” bertranformasi menjadi perjuangan pembebasan nasional yang terbuka bagi seluruh gerakan sosial di Mexico, untuk menjadi kekuatan “opososi kerakyatan” atas pemerintahan yang mendukung Neo-liberalisme.


Mengapa Menanggalkan Polmil dan Berpartisipasi Dalam Demokrasi Elektoral

 Ada sistem politik yang relatif demokratis dan pengakuan internasional yang memberikan ruang dan kesempatan kepada gerakan polmil atau oposisi bersenjata untuk memperjuangkan tuntutan-tuntutan politiknya dalam bentuk partai politik melalui mekanisme pemilihan umum.

 Peperangan yang panjang menyadarkan pihak gerakan polmil, akan korban kemanusiaan rakyat sipil yang akan terus bertambah dan tidak berkesudahan. Gerakan polmil memandang perjuangan bersenjata ternyata juga menguntungkan pihak lawannya karena dukungan persenjataan, amunisi, propaganda, dukungan perusahaan multinasional dan pemerintahan asing dan dalam beberapa segi ‘peperangan’ dibutuhkan oleh rejim-rejim otoriterian untuk konsolidasi angkatan bersenjata, propaganda nasionalisme sempit dan ‘memeras’ para pemilik modal multinasional untuk ‘jaminan keamanan’

 Ada tuntutan dari gerakan masyarakat sipil (baik di lokal, nasional dan mungkin internasional) dimana gerakan polmil dianggap sebagai ‘simbol perlawanan’ atas kekuatan yang menindas (sebuah komunitas atau bangsa atau kelompok politik dan ideologi tertentu) untuk melakukan genjatan senjata, perundingan damai atau menyediakan wadah konstitusional bagi gerakan polmil agar dapat kekhususan dan ruang untuk punya akses dalam pemerintahan dan kekuasaan formal di eksekutif dan legislatif melalui mekanisme demokrasi melalui jalan elektoral via partai-partai politik.

 Gerakan polmil memandang ruang demokrasi akan membuat perjuangan politik gerakan mendapatkan dukungan dari publik yang lebih luas yang akan di konversi menjadi ‘jumlah suara’ dukungan dalam pertarungan elektoral.

 Dukungan, legitimasi dan kerjasama dengan komunitas internasional kepada gerakan Polmil yang bertransformasi menjadi gerakan politik akan menjadi semakin luas dan berkembang dalam berbagai program dan kegiatan.

 Dengan transformasi kedalam gerakan politik maka gerakan polmil dapat meluaskan program-program perjuanganya diluar kerangka strategi perang, tapi kesoal-soal kongkrit masyarakat yang dibelanya dalam bentuk perjuangan untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, ekologis dan kesetaraan perempuan. Perluasan arena perjuangan ini juga akan menambah kapasitas dan kemampuan gerakan untuk menguasai bidang-bidang dan keahlian yang selama ini tak dapat dikembangkan dalam kondisi perang.

Kelompok perjuangan bersenjata menjadi lebih tertarik kepada perjuangan politik (elektoral) ketika didukung oleh tiga kondisi:


1) Terjadi Perubahan Strategi di lingkungan internal kepemimpinan gerakan polmil untuk mentransformasikan gerakan polmil menjadi gerakan politik terbuka dengan membentuk partai-partai politik yang akan berpartisipasi dalam kompetisi elektoral. Pimpinan dari Polmil bersatu untuk memasuki jaur politik damai untuk mengakhiri konflik senjata dan mennempuh perjuangan politik. Para pimpinan mengambil pilihan politik jalan damai via partai politik untuk mengurani ‘korban kemanusian’ rakyat sipil akibat pertempuran. Para pimpinan gerakan bersenjata harus berkesimpulan bahwa perjuangan politik akan memperluas dukungan rakyat bagi tujuan-tujuan politik gerakan. Para pimpinan juga dapat memaksimalkan alat politik terbuka yang tradisionil dengan melakukan mobilisasi popular sepeti demonstrasi dan protes untuk mendesakan tuntutan-tuntuan reformasi politik. Akan mendapatkan tantangan dari faksi radikal yang menganggap perjuangan politik telah ‘memarginalkan’ perjuangan bersenjata, melakukan kompromi dan merendahkan tuntuan politik perjuangan. (Aceh misal; dari Merdeka menjadi Otonomi khusus). Perjuangan politik dalam beberapa kasus, bukan berarti dukungan publik pada perjuangan bersenjata juga berkurang, bisa jadi tetap memberikan dukungan. Contohnya adalah Hamas dan Hezbulah yang berperang melawan Israel. Meskipun Hamas menjadi pemenang pemilu 2006, mayoritas publik mengatakan bahwa perjuangan bersenjata harus terus dilakukan.

2) Adanya tuntutan popular dari masyarakat yang dibela oleh gerakan polmil (yang dianggap menjadi representasi perjuangan mereka dan menganggap sebuah gerakan polmil sebagai ‘simbol’ perlawanan mereka) untuk mengakhiri konflik kekerasan menjajaki perdamaian dan bertranformasi menjadi gerakan politik terbuka. Ada sinyal dan pernyataan politik secara implisit dan ekplisit dari masyarakat sipil untuk memberikan dukungan luas bagi transformasi gerakan polmil kedalam politik terbuka melalui mekanisme demokrasi formal via pemilu dan partai politik. Bila telah menjadi gerakan politik maka gerakan bersenjata harus berkosentrasi pada pengorganisiran popular/rakyat, yang nantinya akan dikonversi menjadi dukungan suara dalam pemilu. Dukungan poluler tidak menjadi sesuatu yang signifikan dalam perjuangan bersenjata. Untuk mendapatkan dukungan yang luas dalam kerangka pertarungan politik elektoral, politik harus lebih bersifat pragmatis ketimbang ideologis, sebab alat politik gerakan harus mampu mencapai seluas mungkin strata masyrakat yang beragam (Neumann (2005). Perjuangan politik juga membuat gerakan harus mendemokratiskan cara-cara pengambil keputusan dengan banyak mempertimbangan opini dan pendapat dari publi/pendukung. (Sànchez-Cuenca (2007) ada tiga kelompok yang akan menjadi pendukung utama transisi gerakan bersenjata menjadi gerakan politik terbuka/legal. Pertama, kelompok yang tidak menyukai gerakan bersenjata karena adanya korban sipil, tapi setuju dengan tuntutan politik gerakan. Kedua, kelompok-kelompok gerakan sosial dan ormas yang dibentuk oleh organisasi politik gerakan; Ketiga, masyarakat umum yang berharap perdamaian akan langgeng sehingga akan terjadi kehidupan normal.

3) Adanya Aktor politik internasional resmi (PBB dan lembaga-lembaganya, perwakilan/ mediator pemerintahan tertentu), lembaga donor, lembaga independen internasional yang legitimet yang mengakui eksistensi dan legitimasi gerakan polmil dan secara kongkrit terlibat dalam proses mediasi, perundingan dan penyelesaian konflik. Gerakan bersenjata juga mempunyai jaringan internasional untuk melakukan kampanye, loby, guna mendukung perjuangannya. Bahkan dalam beberapa kasus ada Negara yang mendukung perjuangan mereka. ( Ambil contoh pemerintah Portugal yang mendukung CNRT perjuangan kemerdekan timor-timur.). Dalam banyak kasus pelibatan lembaga internasional resmi PBB atau lembaga kemanusiaan seperti ICRC juga mempunyai hubungan penting bagi gerakan bersenjata. (PKO dari PBB, Unamaet di Timtim). Komunitas internasional dapat menjadi alat efektif agar pemerintah resmi disebuah Negara mengakui legitimasi gerakan bersenjata dan mengajaknya ke meja perundingan atau gencatan senjata. Komunitas internasional juga dapat menjadi mediator perundingan yang diterima kedua belah pihak yang sengketa untuk membuat kesepakatan damai. Namun perubahan politik internasional yang sangat dipengaruhi oleh Amerika Serikat juga dapat berdampak sebaliknya bagi gerakan senjata yang bertransformasi menjadi gerakan politik. Dalam kasus Hamas misalnya, Amerika dan sekutunya tidak mengakui kemenangan elektoral Hamas dalam pemilu 2006. Pemerintahan yang mendukung sebuah gerakan bersenjata juga dapat menjadi mediasi untuk mengubah strategi perjunta menjadi perjuangan politik terbuka seperti seruan presiden Chavez dari Venezuela agar gerilyawan FARC mau maju kemeja perundingan dan melangkah ke perjuangan politik.

4. Transisi Dari Gerakan Polmil yang Tertutup Menjadi Partai Politik terbuka

 Transformasi gerakan Polmil menjadi gerakan partai politik yang terbuka menuntut perubahan radikal dalam metode perjuangan dalam hal strategi, program, organisasi dan budaya.
1. Dalam hal strategi; menanggalkan cara kekerasan dan mengikuti prosedur perjuangan demokratis melalui partai politik dan pemilihan umum (elektoral) sesuai dengan undang-undang yang berlaku; Partai akan menfokuskan gerakan pada pengorganisiran popular dari publik atau masyarakat yang selama ini dianggap sebagai representasi dari perjuangan gerakan polmil.
2. Dalam Hal Program Perjuangan: mengkombinasikan dan memperluas tuntutan program-program perjuangan dari sekedar menuntut hak-hak politik fundamental (kemerdekaan atau otonomi luas) tapi juga kepada tuntutan-tuntutan rakyat dalam bidang sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan kesetaraan perempuan, program-program perjuangan yang tidak menjadi prioritas dalam gerakan polmil sebelumnya; perjuangan politik terbuka dengan kata lain akan mengkompromikan program-program ideologis.
3. Dalam hal Organisasi: Model kepemimpinan gerakan polmil yang sentralis-militeris digantikan dengan kepemimpinan yang demokratis-partisipatoris; Pengambilan keputusan organisasi harus melalui perdebatan disetiap struktur organisasi secara transparan (terbuka) dan melibatkan seluas mungkin pendapat sesuai dengan mekanisme yang berlaku didalam organisasi (tidak konspiratif); Dukungan dari publik dan masyarakat pada organisasi akan diikat berdasarkan dukungan pada program-program atau kontrak-kontrak politik yang disepakati;
4. Dalam Hal Budaya; Budaya militeris yang berkembang di dalam organisasi Polmil harus ditanggalkan dan harus diubah menjadi budaya yang demokratis dan partisipatoris; hubungan antara pimpinan organisasi dan pengikut yang tadinya bergaya komando dan hirarkis digantikan oleh hubungan yang egaliter dimana hubungan pemimpin dan anggota bersifat dialektis dimana pemimpin dipilih oleh anggota tapi juga diawasi dan harus bertanggungjawab kepada anggota melalui mekanisme organisasi.

5.Partisipasi gerakan Polmil menjadi gerakan politik terbuka mengambil beberapa bentuk:
1. Berpartisipasi dengan mengunakan bendera gerakan polmil itu sendiri, jadi tidak mencari identitas politik baru. Dengan menggunakan identitas yang sama maka rakyat diharapkan dapat memberikan dukungan luas karena nama organisasi polmil dianggap telah populer dan diterima secara luas sebagai simbol perlawanan; Misalnya FMLN di Nicaragua tidak menganti namanya ketika menjadi partai politik dalam pertarungan elektoral. Gerakan polmil Hammas di Palestina menggunakan identitas yang sama ketika berpartisipasi dalam politik elektoral tahun 2006 dan bahkan memenangkannya.
2. Bergabung dalam Front politik yang lebih luas dengan gerakan sosial dan politik lainnya yang dianggap mendukung platform perjuangan mereka. Partai dalam bentuk front politik dengan kelompok gerakan sosial-politik lainnya biasaya dibentuk untuk mempersatukan masyarakat agar tidak terpecah-pecah dan diadu domba dalam transisi demokrasi yang menggunakan politik elektoral; Front politik juga dibangun dengan asumsi bahwa musuh-musuh politik masih kuat, mempunyai pendukung dan mempunyai mesin-mesin politik yang strategis untuk menghadapi gerakan partai-partai politik yang dipelopori oleh polmil; Contoh dari transformasi ini adalah gerakan polmil Zapatista atau EZLN di negara bagian Chiapas Mexico dengan membentuk Zapatista Front of National Liberation.
3. Mendukung sebuah partai politik terbuka yang berpartisipasi dalam mekanisme politik elektoral sebagai organisasi payung atau sebagai corong dalam perjuangan politik terbuka, tapi tetap mempertahankan strategi perjuangan bersenjata. Misalnya hubungan antara IRA dan partai nasionalis Sinn Fein di Irlandia Utara dan hubungan antara ETA dan partai Herri Batasuna di wilayah Basque Spanyol.
4. Berpartisipasi sebagai calon individual dan independen.


6. Beberapa Kendala Dalam transisi Gerakan Polmil kedalam Politik elektoral:

1. Kendala Eksternal:
 Undang-undang yang menjamin hak-hak politik gerakan polmil kedalam politik elektoral ditentukan oleh kekuatan dominan dalam iklim politik nasional yang cenderung tidak stabil dan mempunyai tendensi untuk menjalankannya secara setengah hati; Di Inggris, setiap partai konservatif berkuasa, maka gerakan bersenjata IRA biasanya lebih ofensif, karena partai konservatif cenderung tidak mau mengakui eksistensi IRA. Bahkan ketika Margareth Thacher berkuasa pernah dimajukan Anti Terorist Act untuk menghadapi IRA. Proses referendum di Timor-Timur terjadi paska pemerintahan Soeharto yang ‘kuat’ kepada pemerintahan Habibibe yang lemah, baik berhadapan dengan kekuatan internasional maupun gerakan reformasi dinegerinya sendiri.
 Masih bercokolnya struktur kekuatan-kekuatan politik lama pro pemerintah di dalam birokrasi, militer, parpol dan masyarakat sipil yang menjadi mesin politik yang dapat menciptakan destabilisasi dan provokasi-provokasi yang berupaya menghambat jalannya perdamaian dan kompetisi politik elektoral bila dianggap akan lebih menguntungkan alat politik gerakan polmil.
 Dukungan dan proses pengawasan dari komunitas internasional atas proses transisi demokrasi sangat dipengaruhi oleh dinamika kecenderungan politik global sehingga upaya transisi gerakan polmil ke jalur politik elektoral terkadang dapat berubah. Ambil contoh adalah ketika pada tahun 2006 Hammas di Palestina dipuji karena mau menampuh jalan damai dan bertaransformasi kedalam politik elektoral mengikuti kesepakatan perdamaian Oslo, tapi kemudian diboikot oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, karena PLO partai politik yang lebih akomodatif atas kepentingan Barat yang mereka dukung kalah.

2. Kendala-Internal
 Partai-partai politik yang dibentuk oleh gerakan polmil dalam kompetisis elektoral kurang mempunyai pengalaman dan kapasitas dalam kompetisi elektoral. Para pimpinan gerakan bersenjata kurang dapat menggunakan keahlian dan kemampuannya dalam berperang kedalam arena politik terbuka, karena menghadapi situasi yang berbeda dan itu membutuhkan kemampuan dan cara berjuang yang berbeda.
 Transisi dari gerakan polmil kedalam politik elektoral akan mengubah perimbangan kepemimpinan didalam gerakan bersenjata dan akan menguntungkan para pimpinan yang terlibat dalam proses perdamaian karena kemudian mendapatkan kedudukan strategis di pemerintahan dan legislatif. Dalam situasi ini kerap timbul faksionalisasi ketidakpuasan dari dalam unsur-unsur gerakan polmil karena harapan-harapan yang begitu tinggi atas demokrasi formal ternyata tidak dapat direalisasikan degan cepat oleh kawan-kawan pimpinan yang mendapatkan posisi politik di legislatif dan eksekutif.
 Program-program transisional kepada para mantan gerilyawan gerakan polmil agar bisa beradaptasi dengan iklim politik dan realitas baru tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan: Jaminan-jaminan sosial untuk para keluarga korban tidak berjalan; proses rekonsiliasi tidan dijalankan secara maksimal; program sosial-ekonomis berupa alat produksi, pekerjaan, modal usaha dan pelatihan untuk menopang kehidupan di jaman normal kurang maksimal.
 Budaya dan bentuk-bentuk hubungan organisasional gerakan polmil yang sentralis, militeris, hirarkis dan komandois, yang memang dibutuhkan dalam suasana perang masih mewarnai secara dominan langgam organisasi dalam hal mengambil keputusan, pemilihan anggota, pembentukan struktur dan komunikasi politik diantara para pimpinan organisasi.
 Mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban organisasional kepada publik secara transparan seringkali kurang maksimal; Cara-cara kerja konspiratif dan ilegal terkadang masih digunakan dalam mengambil keputusan dan memilih kepemimpinan sehingga kurang memberikan tempat pada budaya demokrasi dan partisipasi masyarakat.

7. Beberapa Catatan

 Proses internalisasi partai modern ketika gerakan polmil bertransisi kedalam saluran politik elektoral melalui pemilu membutuhkan tahap transisi dan proses perubahan budaya yang membutuhkan kesabaran dan dukungan dari komunitas internasional secara berkesinambungan.
 Proses integrasi polmil kedalam politik elektoral memberikan banyak peluang dan kemungkinan untuk mendapatkan dukungan populer dan memenangkan program-program gerakan yang lebih luas.
 Demokrasi formal dengan merebut kursi di eksekutif dan legislatif bukanlah tujuan utama gerakan kerakyatan, tapi hanya menjadi alat untuk menjaga perdamian dan merealiasikan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat luas.

Tulisan ini adalah materi Training "Peningkatan Kapasitas Partai Pilitik dan Demokrasi" disampaikan oleh Wilson (Litbang Perkumpulan Praxis)
yang diadakan oleh Sekolah Perdamaian dan Demokrasi (SPD)di Banda Aceh.

0 komentar: